Selasa, 29 Januari 2008

cerpenku

MENJEMPUT PAGI

Kuingin pagi segera datang
Datanglah pagi, tinggalkan malam yang sakit

Suara teriakan, umpatan dan makian kembali terdengar dari balik dinding kamarku. Rumah ini terasa mau roboh menerima getarannya yang menghebohkan. Aku pun kembali muak dibuatnya. Dadaku terasa sesak dan ingin muntah. Teriakan-teriakan amarah itu sangat memekakkan telingaku dan membuat perutku mual. Adalah ibuku yang memaki. Adalah ayahku yang mengumpat. Adalah mereka yang mengeluarkan kata-kata kasar dan menjijikkan. Oh, telingaku. Aku tak sanggup mendengarnya. Maka kututup rapat-rapat kedua lubang telinga ini dengan kedua telapak tanganku. Mataku terpejam dengan tubuh menekuk di atas ranjang. Tapi suara-suara itu, begitu dalam menembus hingga gendang telinga terasa mau pecah. Kepalaku sudah mulai tak nyaman. Panas, pusing, dan …hoek! Reflek tiba-tiba aku mau muntah. Dadaku sesak. Nafasku tersengal. Sesaat, udara terasa berhenti berhembus. Kudengar suara tangis ibuku yang melengking tinggi. Ada suara-suara pecah barang-barang yang dilemparkan. Mungkin vas bunga, cermin, atau apa saja yang ada di dekat ibuku, sedang dilemparkan ke arah ayahku. Pasti ayahku sibuk menangkis-nangkisnya. Dan tiba-tiba …. Brruaakkk!!! Ayahku lari dengan membanting pintu. Seolah mata dinding-dinding rumahku terbelalak menahan rasa geram karenanya. Dan aku pun spontan berdiri karena terkejut. Lalu terdengar suara deru mobil. Ayahku pergi meninggalkan kekacauan disertai kemarahan, entah kemana. Aku pun lantas duduk menjatuhkan diri ke atas ranjang. Menangis tanpa suara.
Hampir setiap malam selalu kulalui dengan suasana yang mencekam dan nyaris membuatku gila. Menyiksa dan menyakitkan.

Setelah itu, hening. Suara tangis ibuku mulai lamat-lamat terdengar. Sepi yang mencekam kembali hadir. Seperti biasa, aku mendatangi ibuku yang menggigil dengan isak tangisnya. Kubelai rambutnya, kuusap wajah basahnya, lalu kucium keningnya. Terkadang aku mendekapnya, tapi terkadang segera kutinggalkan setelah menyelimuti tubuhnya. Ijah, pembantuku itu, tanpa kusuruh pun juga sudah tanggap untuk segera membereskan kamar ibuku yang berantakan setelah perang dengan ayahku.

Aku pergi dengan hati yang perih dan kosong. Sekosong tatap mata ibuku yang menatapku seolah aku hanya sebuah bayang yang datang dan segera lenyap yang kemudian akan datang lagi dengan cara dan dalam situasi yang sama.

Rembulan merangkak pergi
Datanglah pagi meski kau tak menjanjikan asa.

Senyum Ijah menyapaku bersama pagi. Kami pun lalu berangkat bersama ke sekolah. Meski pembantu, karena usianya yang sama denganku, ibuku menyekolahkannya di sekolah yang sama denganku, tapi kami tidak satu kelas.

Di sekolah, adalah Gadis teman sebangkuku. Cantik, lincah, agresif. Setiap pagi wajahnya selalu cerah berbinar. Sinar kebahagiaan benar-benar nampak di raut mukanya. Dia menerima banyak limpahan hadiah, perhatian dan kasih sayang dari kekasihnya yang menurut ceritanya adalah anak seorang pejabat kaya. Keceriaannya sedikit mengobati hatiku yang mendung. Seringkali aku sangat merindukan keceriaan seperti itu hadir di wajah ibuku, mengantar hari-hariku. Tapi kerinduan itu tak pernah terobati. Hanya mata yang sembab, wajah yang murung, tubuh yang ringkih dan hati yang gelisah. Hanya itu yang selalu kutemui dalam diri ibuku. Terkadang aku merasa kasihan, sedih, tapi di lain waktu aku juga merasa marah dan muak. Hanya, kemarahan dan kemuakan itu tak pernah bisa kumuntahkan. Tidak adil rasanya bila dia harus menerima kemarahan atau bahkan sekedar kekesalan dariku setelah hampir setiap malam nyaris tak pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian ayahku, setelah setiap malam merasakan derita, dan setelah setiap malam diamuk sepi yang mencekam. Ibuku, sangat menderita dan rapuh. Hatinya terabaikan.

Lalu aku? Bukankah aku juga terabaikan? Bukankah mereka, ayah ibuku, juga mengabaikanku? Tapi, aku tidak rapuh walau tangan ibu tak pernah membelai rambutku, walau lengan ayah tak pernah hangat mendekapku. Bukankah selalu aku yang datang di malam hari untuk tetap meyakinkan hati ibuku bahwa sesungguhnya dia ada dan berharga. Bukan kebalikannya. Ah, kenyataannya, aku tidak memerlukan jarum-jarum suntik, sabu-sabu atau berteman dengan dunia gemerlap malam seperti kebanyakan anak-anak yang frustasi karena kurang perhatian orang tua. Aku tidak perlu semua itu.

Aku hanya memerlukan wajah-wajah yang ceria, setidaknya seperti wajah Gadis teman sebangkuku ini. Ayahku seharusnya memperhatikan ibuku seperti pacar si Gadis yang selalu memperhatikan dia sehingga membuat batinnya puas, tenang dan damai, lalu terpancar senyum di wajahnya yang tertuju hanya untukku.
“Kalau begitu, elo aja yang pacaran,” kata si Gadis pada suatu ketika sebelum pelajaran pertama dimulai. “Tapi jangan sama si Adit. Percuma, buang-buang waktu.”
“Lalu sama siapa? Sama anak sang pejabat kaya meski lo gak cinta?”
“Begitulah.”
“Dasar cewek matrek lo. Gue udah kaya, tahu nggak sih.”
“Ih, sombong.”
“Bukan sombong, tapi kenyataan. Lagian gue nggak suka pacaran. Lihat muka lo yang ceria itu gue juga udah seneng.”
Senyum si Gadis mengembang. Dia merangkul dan mencium keningku. Ah, seandainya ibuku yang melakukan hal itu.

Dan satu lagi pagi telah usai kulalui.
Seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi, hari-hari sering selalu sama. Membosankan, menjemukan dan yang sangat tidak menyenangkan adalah menyakitkan. Tiba-tiba aku merasa ingin mati. Rapuhkah?

Siang mulai mengintip senja. Kulihat Ijah sedang sujud di kamarnya. Sedang ibuku duduk menghadap kaca menatap kosong pemandangan luar sambil menghisap rokok dalam-dalam.
“Ibu, kau masih mengenalku kan?” kataku sembari kuambil sisa rokok di tangannya lalu kubenamkan ke dalam asbak.
“Bicara apa kamu. Tentu saja. Kamu anakku.” Suaranya begitu berat dan lirih tak bersemangat tanpa daya. Aku merangkulnya dari belakang. Ingin sekali aku menanyakan perihal ayah. Apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka. Tapi pertanyaan itu tak pernah meluncur karena tiap kali sebutan ‘ayah’ terucap dari mulutku, reaksi ibuku sangat mengejutkan. Dia seperti berada di dunia lain yang mencari-cari sesuatu. Merintih, menangis, meraung sambil memukul-mukul dadanya sendiri atau menjambak-jambak rambutnya. Atau kalau tidak begitu, bayang ayahku seolah hadir mendekapnya lalu mulut ibu dipenuhi kata-kata lembut dan mesrah. Membuatku bingung dan takut. Duh! Pikiranku benar-benar kacau. Kacau dan kacau! Rumah ini telah menjadi sebuah neraka jahanam yang teramat panas.
Segera kulepas dekapanku. Lari dan membanting pintu meninggalkan ibuku yang sama sekali tak pernah menganggapku ada. Ibu …. bahkan terkadang ingin sekali aku mengakhiri penderitaanmu agar segera berakhir penderitaanku. Terkadang iblis juga membisikkan sesuatu yang membuatku takut. Tapi bagaimana mungkin aku membunuhmu?

Rembulan kembali hadir
Datanglah malam, meski kau mengendap-endap dengan segala kesamaran

Malam yang selalu samar membisikkan sesuatu ke dalam hatiku. “Ayah, aku membencimu…”
Malam ini seperti samar aku datang mengendap-endap ke kamar Ijah. Aku ingin sembunyi di kamarnya sambil sayup-sayup mendengar suaranya melantunkan ayat-ayat suci hingga aku tertidur. Karena malam ini, aku takut mendengar suara caci maki antara ayah dan ibuku. Aku takut dadaku sesak dipenuhi kata-kata keji dan kotor. “Ijah, ijah, biarkan aku sembunyi di sini, di dalam kamarmu. Aku takut dengan suara-suara itu.” Ijah menyambutku dalam dekapannya seolah aku adalah putrinya. Malam ini, aku menangis di pangkuannya hingga terlelap. Samar kulihat, dia pun menitikkan air mata.

Lagi-lagi, bulan mulai separuh
Datanglah pagi meski kau tak menjanjikan harapan

Ijah mengusap basah di wajahku. Air wudhu, katanya.
“Sholat Neng, subuhnya hampir habis.”
Aku menggeliat. “Tuhan tidak memberiku bahagia. Mengapa aku harus sholat?”
Ijah terdiam. Tersirat di wajahnya sedang memikirkan jawaban. Ini adalah nasehatnya untuk yang kesekian kalinya. Tapi entah mengapa aku masih merasa tidak ingin melakukannya. Lalu terdengar lirih suaranya, “Hidup di dunia sudah tidak bahagia, masa di akhirat juga harus menderita….”
Aku tergerak mendengarnya.
“Apakah Tuhan akan menghilangkan hari-hari sepiku, Ijah? Aku benci sepi. Aku benci.” Perih hatiku menjerit.
“Menghadirkan Tuhan dalam hati, bukan hanya sepi yang akan hilang. Segala kegundahan dan kegelisahan pun juga akan lenyap. Tidak takut, tidak khawatir dan tidak cemas. Karena Tuhan selalu bersama kita.”

Sungguh, aku hanya heran, mengapa Ijah bisa mampu mengeluarkan kata-kata itu. Apakah dia tidak mengetahui deritaku yang selalu disaksikannya? Tapi hari ini Ijah telah membuat pagi hariku tidak seperti biasanya. Nasehatnya untuk menghadirkan Tuhan dalam hati sangat luar biasa walau akhirnya dengan malu-malu aku mendatangi-Nya. Lalu, beberapa malam, aku merasa betah tidur di kamarnya, meski malam tetap dibumbui jerit tangis pilu ibu dan bentakan-bentakan kasar ayahku.

Tapi beberapa hari ini juga ada sesuatu yang ganjil, mengganjal perasaanku. Gadis tidak masuk sekolah. Tanpa memandang senyumnya yang ceria, tanpa menerima dekapannya dan tanpa merasakan kecupannya di keningku, masih terasa ada yang kurang. Bahkan terasa ada dalam jiwaku yang hilang. Tidak cukup hanya dengan nasehat Ijah. Entah mengapa. Aku bahkan pernah sangat merindukannya. Hanya dia yang bisa membuatku seperti itu. Dia Gadis yang hangat dan menyenangkan dalam segala hal. Hanya satu yang paling tidak aku sukai. Yaitu bila dia menceritakan kemesraan pacarnya. Aku sangat tidak suka dan tanpa sadar pernah memarahinya habis-habisan. Sejak itu, dia tak pernah lagi menceritakan kemesraan pacarnya. Anehnya, dia tidak pernah membenciku. Dia begitu pengertian. Dan setelah beberapa hari tidak melihatnya tanpa kabar yang jelas, aku semakin didera rasa rindu bercampur cemas dan gelisah. Mengapa?

Fajar mulai tenggelam
Datanglah malam, meski dengan segala siksamu


Malam ini, aku tak ingin membelai wajah ibuku. Aku gelisah. Seharusnya dia yang membelai jiwaku, mengisi ruang hampaku. Hatiku memendam kekecewaan kepadanya. Maka, sebelum tangisnya menyesakkan dadaku, aku meninggalkan rumah menjumpai Gadis yang sangat kurindukan. Aku ingin mengetahui keadaannya dan apa yang tengah terjadi pada dirinya.
Kuselusuri jalan malam dengan hati yang diburu perasaan gelisah. Kularikan mobil dengan sangat kencang seperti orang kesurupan agar segera sampai di rumah Gadis. Entah kenapa aku seperti orang yang sedang dikejar sesuatu yang tidak kumengerti.

Akhirnya sampai juga. Kuhela nafas lega dan panjang. Di luar pintu rumahnya, kudengar suara desah. Suara itu seperti … Ah! Darahku mendidih. Mengapa tiba-tiba aku dibakar rasa cemburu? Hampir saja aku membuka paksa pintu itu, tapi segera kuurungkan. Aku khawatir Gadis mengetahui bahwa aku … aku merindukannya. Oh Tuhan, perasaan apakah ini. Bukankah seharusnya perasaan semacam ini tak boleh bersemayam dalam hatiku? Tapi… Ah, aku tidak tahu!

Saat batinku bergejolak diamuk berbagai macam perasaan, pintu itu terbuka diiringi tawa mesra si Gadis yang bergelayut mesra di lengan pacarnya. Aku tercekat, mataku terbelalak. Astaga! Lelaki itu …. “A’ …. Ayah!”

Dan malam merangkak pilu menjemput fajar….

Tidak ada komentar: