Rabu, 02 Januari 2008

BENAK ATIKAH

Ada perasaan gelisah menggeluti hati Atikah. Amarah dan dendam dan entah apalagi namanya sangat menguasai hatinya. Tuhanm mengapa harus terjadi hal seperti ini. Atikah membatin. Bukan hanya tubuh, tapi harga diriku juga merasa tercabik-cabik. Seenaknya mereka mengoyak-ngoyak jiwa ragaku seperti singa lapar yang menemukan mangsanya. Air liur meleleh dari lidah mereka yang menjulur keluar. Matanya mendelik penuh nafsu kotor dan nafasnya, seperti nafas anjing yangkelaparan.

"Aaaa...!!!" Atikah menjerit. Berteriak dan berteriak mengingat-ingat peristiwa itu. Peristiwa yang menimpa dirinya beberapa bulan yang lalu. Perkosaan! Yah, dirinya telah diperkosa oleh sekelompok pemuda yang baru saja mengadakan pesta minuman keras. Peristiwa itu sungguh-sungguh menyakitkannya. Lebih-lebih hukuman yang mereka terima tidak setimpal dengan perbuatannya. Baginya hukuman itu pantas diberikan pada maling ayam. Dan sebentar lagi mereka akan bebas. Bebas!

Hati Atikah jelas menolak mentah-mentah kebebasan mereka. Kebebasan Sutandu, Bowo dan Rustam. Tampang-tampang kriminal yang menjijikkan itu masih melekat kuat dalam benaknya.

Ketika itu, di siang bolong yang sepi, Atikah disekap di buritan belakang rumahnya. Ditampar, ditendang dan disiksa. Atikah tak berdaya. Pingsan. Lalu terjadilah peristiwa yang menjijikkan dan mengerikan itu.

"Hakim itu seharusnya merasakan bagaimana rasanya diperkosa." Desis Atikah. "Keadilan harus ditegakkan. Dan belatih ini yang akan menegakkannya!"

Atikah meraih belati di atas meja. Belati itu sudah berkarat. Atikah tersenyum sinis memandangnya. Lalu Atikah beranjak dan mengasah belati itu. Dengan tekun dia mengasahnya hingga belati itu mengkilat. Sungguh mengkilat apalagi bila terkena sorot matahari. Atikah tersenyum giris. Diusap-usapkannya belati itu di pipinya yang merah. Matanya dingin menerawang. Satu persatu wajah ketiga pemuda muncul secara bergantian dalam bayangannya. Wajah-wajah binatang yang menjijikkan! Air mata Atikah mengalir membasahi belati yang menempel di pipinya.

"Kau menangis lagi, Tikah." Suara lembut itu mengagetkan Atikah. "Sekali pun telah kering air matamu, tak akan mampu mengembalikan keperawananmu." Lanjut suara itu yang ternyata bunda Atikah.

"Bagaimana dengan uang dan beras yang Bunda dapatkan dari orang-orang yang mengasihani Tikah. Apakah itu semua dapat mengembalikan kesucian Tikah?"

"Kesucian seorang gadis tidak terletak pada keutuhan selaput daranya, Tikah. Tetapi pada hatinya."

"Bunda. Bunda tidak tahu, betapa sakit hati Atikah. Bunda tidak tahu, karena Bunda tidak mengalaminya."

"Bunda paham. Sangat paham dengan hatimu, Nak. Tentu saja Bunda tidak rela ada binatang menginjak-injak harga diri anakku yang kukandung selama sembilan bulan sepuluh hari dan kulahirkan dengan taruhan nyawa. Bagaimana mungkin Bunda tidak tahu dengan sakit hati yang kau rasakan."

Atikah terdiam. Nafasnya tersengal. Dengan sagat hati-hati, belati dalam genggamannya itu diambil bunda dari tangannya. Untuk yang kesekian kalinya bunda berhasil merampas setiap benda-benda tajam yang pernah ada dalam genggamannya. Hati bunda begitu resah, khawatir dan takut kalau putrinya tercinta itu bunuh diri.

***
MALAM itu, tak ada bintang tak ada bulan. Yang ada hanyalah gumpalan-gumpalan mega hitam di langit yang menempatkan diri pada posisinya masing-masing. Gumpalan-gumpalan mega hitam itu seperti gumpalan-gumpalan luka di hati Atikah. Bedanya, mega hitam di langit akan merubah warnanya di siang hari, akan tetapi tidak demikian dengan luka hati Atikah. Bahkan luka itu tidak saja hitam. Ada yang semakin memerah panas membakar. Dan akhirnya berubah menjadi dendam yang tak terlukiskan.
Hari-hari dilewati Atikah dengan memandang langit yang hitam. Dia menunggu bulan muncul dari sarangnya. Seringkali Tikah menyaksikan bulan tidak sepenuhnya memancarkan cahayanya. Mega hitam itu selalu usil mengusik kemunculan sang bulan. Atikah jadi benci dengan mega malam.
"Bunda, coba katakan pada Tikah. Apa yang kira-kira akan dilakukan orang-orang yang memperkosa Tikah jika Tikah mati?"
Bunda menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini dia sering kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan Atikah yang mengerikan itu.
"Sebutlah nama Tuhan, Tikah. Mintalah pertolongan dariNya."
"Bunda tidak menjawab pertanyaan Tikah. Tapi, mungkin orang-orang itu akan senang jika Tikah mati karena tidak akan ada lagi yang mencoba menuntut mereka. Tapi tidak Bunda. Tidak!" Atikah mencengkeram lengan bundanya. "Mereka salah. Arwah Tikah akan gentayangan mengganggu mereka. Mereka pasti akan ketakutan melihat wajah Tikah yang menyeringai. mereka akan lari terbirit-birit, terperosok dan jatuh ke jurang."
"Masya Allah, eling (ingat) Tikah. Nyebut."
"Atikah kehilangan harapan, Bunda. Masa depan Tikah hancur. Hidup Tikah hancur. Kematian akan membuat Tikah lebih hidup dibandingkan jika Tikah tetap hidup. Setidaknya dalam kematian, Tikah masih punya harapan."
Lagi-lagi bunda menghela nafas panjang. Dan beliau hanya berucap, "Kamu sudah mengambil air wudhu, Tikah?" Atikah tercengang demi mendengar kata-kata bundanya. Dia palingkan muka pada bundanya. Sisa-sisa air mata Tikah menetes membasahi pipinya. Oh, wajah tua ini sungguh sabar dan bijaksana. Bunda, Tikah tidak tahu apa yang akan terjadi jika Bunda tidak ada di samping Tikah.
"Tanyakan pada Tuhanmu, apakah kamu sudah pantas untuk menerima kematian dariNya."
Atikah tak mampu lagi berkata-kata. Dia hanya merangkul erat-erat tubuh bundanya.
***
HARI berganti hari. Minggu pun telah berganti. Kebebasan Sutandu, Bowo dan Rustam sudah di ambang pintu. Dari mulut tetatangga Atikah mengetahui, kurang lima hari lagi mereka akan menghirup udara bebas. Dan hari itu sekarang bisa dihitung dengan menggunakan jari. Dada Atikah berdebar-debar menyimpan amarah.
Tiba-tiba ada sesuatu muncul dalam benak Atikah. Harapan! Harapan yang selama ini terkubur dalam-dalam muncul ke permukaan hati Atikah.
Diam-diam belati yang dulu pernah diasahnya itu diambilnya kembali. Kemudian diasahnya sampai mengkilat. Tak seorang pun mengetahuinya. Bahkan bundanya pun tidak tahu. Atikah terus mengasahnya dan mengasahnya.
"Tidak ada bukti kuat dari penuntut yang memberatkan terdakwa." Begitu kata Hakim dalam sidang beberapa bulan yang lalu. "Terdakwa hanya terbukti menenggak minuman keras hingga mabuk dan meresahkan masyarakat." Kata-kata sang hakim masih terngiang-ngiang di telinganya. Tuduhannya terhadap tiga terdakwa itu dianggap sebagai tuduhan palsu. Sama sekali keputusan yang sangat tidak adil.
"Dan sekarang, saya sendiri yang akan mengadili mereka!"
Atikah gelisah tak sabar menunggu sang waktu. Tinggal tiga hari lagi. Bentangan-bentangan waktu semakin tipis jaraknya. Tinggal dua hari. satu hari. Detik-detik jam hari itu telah berlalu. Dan, sekaranglah saatnya!
Ayam jago peliharaan Atikah mengebaskan sayapnya seolah memberi semangat baru kepadanya. Hati Atikah terbakar. Dadanya bergemuruh hebat. Seperti ada kekuatan aneh yang mendorong-dorongnya. Entah kekuatan apa yang tersembunyi dalam dirinya. Tiba-tiba Atikah berlari sekencang-kencangnya sambil mengayunkan belatinya. Tak seorang pun berani mencegahnya. Tak seorang pun berani mendekatinya. Semuanya hanya tertegun. Bahkan ketika ketiga wajah yang sangat dikenalnya itu persis berada di hadapannya, tercengang dan kaget memandang Atikah. Semuanya terjadi seolah-olah ditakdirkan demikian. Sebentar kemudian terdengar teriakan-teriakan histeris di depan penjara. Atikah begitu liar menyabetkan belatinya ke tubuh mereka sperti ketika mereka liar menelanjangi tubuh Atikah. Ketiga pemuda yang memperkosa Atikah itu terkapar berlumuran darah. Atikah puas, puas dan puas.
"MAta belati ini lebih tajam daripada mata sang hakim." Teriak Atikah seraya memandang lekat-lekat belatinya yang berlumuran darah.
"Bunda! Lihatlah, mereka tengah menyongsong persidangan di akherat. Tuhan akan mengadili mereka dengan seadil-adilnya. Tikah puas, Bunda. Puas!"
Bersamaan dengan teriakan-teriakannya, Atikah diseret oleh beberapa petugas ke penjara. Esoknya terdengar kabar bahwa dia dihukum mati.
"Kenapa kau lakukan ini, Tikah?"
"Atikah rela mati demi membela apa yang Tikah yakini, Bunda."
Doa dan tangis bundanya mengiringi kepergian Atikah.***

Tidak ada komentar: