Selasa, 29 Januari 2008

cerpenku

MENJEMPUT PAGI

Kuingin pagi segera datang
Datanglah pagi, tinggalkan malam yang sakit

Suara teriakan, umpatan dan makian kembali terdengar dari balik dinding kamarku. Rumah ini terasa mau roboh menerima getarannya yang menghebohkan. Aku pun kembali muak dibuatnya. Dadaku terasa sesak dan ingin muntah. Teriakan-teriakan amarah itu sangat memekakkan telingaku dan membuat perutku mual. Adalah ibuku yang memaki. Adalah ayahku yang mengumpat. Adalah mereka yang mengeluarkan kata-kata kasar dan menjijikkan. Oh, telingaku. Aku tak sanggup mendengarnya. Maka kututup rapat-rapat kedua lubang telinga ini dengan kedua telapak tanganku. Mataku terpejam dengan tubuh menekuk di atas ranjang. Tapi suara-suara itu, begitu dalam menembus hingga gendang telinga terasa mau pecah. Kepalaku sudah mulai tak nyaman. Panas, pusing, dan …hoek! Reflek tiba-tiba aku mau muntah. Dadaku sesak. Nafasku tersengal. Sesaat, udara terasa berhenti berhembus. Kudengar suara tangis ibuku yang melengking tinggi. Ada suara-suara pecah barang-barang yang dilemparkan. Mungkin vas bunga, cermin, atau apa saja yang ada di dekat ibuku, sedang dilemparkan ke arah ayahku. Pasti ayahku sibuk menangkis-nangkisnya. Dan tiba-tiba …. Brruaakkk!!! Ayahku lari dengan membanting pintu. Seolah mata dinding-dinding rumahku terbelalak menahan rasa geram karenanya. Dan aku pun spontan berdiri karena terkejut. Lalu terdengar suara deru mobil. Ayahku pergi meninggalkan kekacauan disertai kemarahan, entah kemana. Aku pun lantas duduk menjatuhkan diri ke atas ranjang. Menangis tanpa suara.
Hampir setiap malam selalu kulalui dengan suasana yang mencekam dan nyaris membuatku gila. Menyiksa dan menyakitkan.

Setelah itu, hening. Suara tangis ibuku mulai lamat-lamat terdengar. Sepi yang mencekam kembali hadir. Seperti biasa, aku mendatangi ibuku yang menggigil dengan isak tangisnya. Kubelai rambutnya, kuusap wajah basahnya, lalu kucium keningnya. Terkadang aku mendekapnya, tapi terkadang segera kutinggalkan setelah menyelimuti tubuhnya. Ijah, pembantuku itu, tanpa kusuruh pun juga sudah tanggap untuk segera membereskan kamar ibuku yang berantakan setelah perang dengan ayahku.

Aku pergi dengan hati yang perih dan kosong. Sekosong tatap mata ibuku yang menatapku seolah aku hanya sebuah bayang yang datang dan segera lenyap yang kemudian akan datang lagi dengan cara dan dalam situasi yang sama.

Rembulan merangkak pergi
Datanglah pagi meski kau tak menjanjikan asa.

Senyum Ijah menyapaku bersama pagi. Kami pun lalu berangkat bersama ke sekolah. Meski pembantu, karena usianya yang sama denganku, ibuku menyekolahkannya di sekolah yang sama denganku, tapi kami tidak satu kelas.

Di sekolah, adalah Gadis teman sebangkuku. Cantik, lincah, agresif. Setiap pagi wajahnya selalu cerah berbinar. Sinar kebahagiaan benar-benar nampak di raut mukanya. Dia menerima banyak limpahan hadiah, perhatian dan kasih sayang dari kekasihnya yang menurut ceritanya adalah anak seorang pejabat kaya. Keceriaannya sedikit mengobati hatiku yang mendung. Seringkali aku sangat merindukan keceriaan seperti itu hadir di wajah ibuku, mengantar hari-hariku. Tapi kerinduan itu tak pernah terobati. Hanya mata yang sembab, wajah yang murung, tubuh yang ringkih dan hati yang gelisah. Hanya itu yang selalu kutemui dalam diri ibuku. Terkadang aku merasa kasihan, sedih, tapi di lain waktu aku juga merasa marah dan muak. Hanya, kemarahan dan kemuakan itu tak pernah bisa kumuntahkan. Tidak adil rasanya bila dia harus menerima kemarahan atau bahkan sekedar kekesalan dariku setelah hampir setiap malam nyaris tak pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian ayahku, setelah setiap malam merasakan derita, dan setelah setiap malam diamuk sepi yang mencekam. Ibuku, sangat menderita dan rapuh. Hatinya terabaikan.

Lalu aku? Bukankah aku juga terabaikan? Bukankah mereka, ayah ibuku, juga mengabaikanku? Tapi, aku tidak rapuh walau tangan ibu tak pernah membelai rambutku, walau lengan ayah tak pernah hangat mendekapku. Bukankah selalu aku yang datang di malam hari untuk tetap meyakinkan hati ibuku bahwa sesungguhnya dia ada dan berharga. Bukan kebalikannya. Ah, kenyataannya, aku tidak memerlukan jarum-jarum suntik, sabu-sabu atau berteman dengan dunia gemerlap malam seperti kebanyakan anak-anak yang frustasi karena kurang perhatian orang tua. Aku tidak perlu semua itu.

Aku hanya memerlukan wajah-wajah yang ceria, setidaknya seperti wajah Gadis teman sebangkuku ini. Ayahku seharusnya memperhatikan ibuku seperti pacar si Gadis yang selalu memperhatikan dia sehingga membuat batinnya puas, tenang dan damai, lalu terpancar senyum di wajahnya yang tertuju hanya untukku.
“Kalau begitu, elo aja yang pacaran,” kata si Gadis pada suatu ketika sebelum pelajaran pertama dimulai. “Tapi jangan sama si Adit. Percuma, buang-buang waktu.”
“Lalu sama siapa? Sama anak sang pejabat kaya meski lo gak cinta?”
“Begitulah.”
“Dasar cewek matrek lo. Gue udah kaya, tahu nggak sih.”
“Ih, sombong.”
“Bukan sombong, tapi kenyataan. Lagian gue nggak suka pacaran. Lihat muka lo yang ceria itu gue juga udah seneng.”
Senyum si Gadis mengembang. Dia merangkul dan mencium keningku. Ah, seandainya ibuku yang melakukan hal itu.

Dan satu lagi pagi telah usai kulalui.
Seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi, hari-hari sering selalu sama. Membosankan, menjemukan dan yang sangat tidak menyenangkan adalah menyakitkan. Tiba-tiba aku merasa ingin mati. Rapuhkah?

Siang mulai mengintip senja. Kulihat Ijah sedang sujud di kamarnya. Sedang ibuku duduk menghadap kaca menatap kosong pemandangan luar sambil menghisap rokok dalam-dalam.
“Ibu, kau masih mengenalku kan?” kataku sembari kuambil sisa rokok di tangannya lalu kubenamkan ke dalam asbak.
“Bicara apa kamu. Tentu saja. Kamu anakku.” Suaranya begitu berat dan lirih tak bersemangat tanpa daya. Aku merangkulnya dari belakang. Ingin sekali aku menanyakan perihal ayah. Apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka. Tapi pertanyaan itu tak pernah meluncur karena tiap kali sebutan ‘ayah’ terucap dari mulutku, reaksi ibuku sangat mengejutkan. Dia seperti berada di dunia lain yang mencari-cari sesuatu. Merintih, menangis, meraung sambil memukul-mukul dadanya sendiri atau menjambak-jambak rambutnya. Atau kalau tidak begitu, bayang ayahku seolah hadir mendekapnya lalu mulut ibu dipenuhi kata-kata lembut dan mesrah. Membuatku bingung dan takut. Duh! Pikiranku benar-benar kacau. Kacau dan kacau! Rumah ini telah menjadi sebuah neraka jahanam yang teramat panas.
Segera kulepas dekapanku. Lari dan membanting pintu meninggalkan ibuku yang sama sekali tak pernah menganggapku ada. Ibu …. bahkan terkadang ingin sekali aku mengakhiri penderitaanmu agar segera berakhir penderitaanku. Terkadang iblis juga membisikkan sesuatu yang membuatku takut. Tapi bagaimana mungkin aku membunuhmu?

Rembulan kembali hadir
Datanglah malam, meski kau mengendap-endap dengan segala kesamaran

Malam yang selalu samar membisikkan sesuatu ke dalam hatiku. “Ayah, aku membencimu…”
Malam ini seperti samar aku datang mengendap-endap ke kamar Ijah. Aku ingin sembunyi di kamarnya sambil sayup-sayup mendengar suaranya melantunkan ayat-ayat suci hingga aku tertidur. Karena malam ini, aku takut mendengar suara caci maki antara ayah dan ibuku. Aku takut dadaku sesak dipenuhi kata-kata keji dan kotor. “Ijah, ijah, biarkan aku sembunyi di sini, di dalam kamarmu. Aku takut dengan suara-suara itu.” Ijah menyambutku dalam dekapannya seolah aku adalah putrinya. Malam ini, aku menangis di pangkuannya hingga terlelap. Samar kulihat, dia pun menitikkan air mata.

Lagi-lagi, bulan mulai separuh
Datanglah pagi meski kau tak menjanjikan harapan

Ijah mengusap basah di wajahku. Air wudhu, katanya.
“Sholat Neng, subuhnya hampir habis.”
Aku menggeliat. “Tuhan tidak memberiku bahagia. Mengapa aku harus sholat?”
Ijah terdiam. Tersirat di wajahnya sedang memikirkan jawaban. Ini adalah nasehatnya untuk yang kesekian kalinya. Tapi entah mengapa aku masih merasa tidak ingin melakukannya. Lalu terdengar lirih suaranya, “Hidup di dunia sudah tidak bahagia, masa di akhirat juga harus menderita….”
Aku tergerak mendengarnya.
“Apakah Tuhan akan menghilangkan hari-hari sepiku, Ijah? Aku benci sepi. Aku benci.” Perih hatiku menjerit.
“Menghadirkan Tuhan dalam hati, bukan hanya sepi yang akan hilang. Segala kegundahan dan kegelisahan pun juga akan lenyap. Tidak takut, tidak khawatir dan tidak cemas. Karena Tuhan selalu bersama kita.”

Sungguh, aku hanya heran, mengapa Ijah bisa mampu mengeluarkan kata-kata itu. Apakah dia tidak mengetahui deritaku yang selalu disaksikannya? Tapi hari ini Ijah telah membuat pagi hariku tidak seperti biasanya. Nasehatnya untuk menghadirkan Tuhan dalam hati sangat luar biasa walau akhirnya dengan malu-malu aku mendatangi-Nya. Lalu, beberapa malam, aku merasa betah tidur di kamarnya, meski malam tetap dibumbui jerit tangis pilu ibu dan bentakan-bentakan kasar ayahku.

Tapi beberapa hari ini juga ada sesuatu yang ganjil, mengganjal perasaanku. Gadis tidak masuk sekolah. Tanpa memandang senyumnya yang ceria, tanpa menerima dekapannya dan tanpa merasakan kecupannya di keningku, masih terasa ada yang kurang. Bahkan terasa ada dalam jiwaku yang hilang. Tidak cukup hanya dengan nasehat Ijah. Entah mengapa. Aku bahkan pernah sangat merindukannya. Hanya dia yang bisa membuatku seperti itu. Dia Gadis yang hangat dan menyenangkan dalam segala hal. Hanya satu yang paling tidak aku sukai. Yaitu bila dia menceritakan kemesraan pacarnya. Aku sangat tidak suka dan tanpa sadar pernah memarahinya habis-habisan. Sejak itu, dia tak pernah lagi menceritakan kemesraan pacarnya. Anehnya, dia tidak pernah membenciku. Dia begitu pengertian. Dan setelah beberapa hari tidak melihatnya tanpa kabar yang jelas, aku semakin didera rasa rindu bercampur cemas dan gelisah. Mengapa?

Fajar mulai tenggelam
Datanglah malam, meski dengan segala siksamu


Malam ini, aku tak ingin membelai wajah ibuku. Aku gelisah. Seharusnya dia yang membelai jiwaku, mengisi ruang hampaku. Hatiku memendam kekecewaan kepadanya. Maka, sebelum tangisnya menyesakkan dadaku, aku meninggalkan rumah menjumpai Gadis yang sangat kurindukan. Aku ingin mengetahui keadaannya dan apa yang tengah terjadi pada dirinya.
Kuselusuri jalan malam dengan hati yang diburu perasaan gelisah. Kularikan mobil dengan sangat kencang seperti orang kesurupan agar segera sampai di rumah Gadis. Entah kenapa aku seperti orang yang sedang dikejar sesuatu yang tidak kumengerti.

Akhirnya sampai juga. Kuhela nafas lega dan panjang. Di luar pintu rumahnya, kudengar suara desah. Suara itu seperti … Ah! Darahku mendidih. Mengapa tiba-tiba aku dibakar rasa cemburu? Hampir saja aku membuka paksa pintu itu, tapi segera kuurungkan. Aku khawatir Gadis mengetahui bahwa aku … aku merindukannya. Oh Tuhan, perasaan apakah ini. Bukankah seharusnya perasaan semacam ini tak boleh bersemayam dalam hatiku? Tapi… Ah, aku tidak tahu!

Saat batinku bergejolak diamuk berbagai macam perasaan, pintu itu terbuka diiringi tawa mesra si Gadis yang bergelayut mesra di lengan pacarnya. Aku tercekat, mataku terbelalak. Astaga! Lelaki itu …. “A’ …. Ayah!”

Dan malam merangkak pilu menjemput fajar….

Senin, 28 Januari 2008

Tentang Kasus Hukum Almarhum Soeharto

Hukum di negara ini tak punya ketegasan dan kepastian. Pro dan kontra mengenai dihentikannya tuntutan terhadap mantan bapak pembangunan hanya mencuat saat krisis melanda tubuh tuanya. Ketika krisis berlalu, pro kontra pun ikut berlalu. Mungkinkah memang sengaja dibuat begitu. Pasti. Karena ketegasan dan kepastian hukum atas dirinya akan membawa dampak buruk bagi mayoritas pengelola negara dan mantan pengelola negara. Tak ada jaksa penuntut yang berani menuntut karena akan ikut tertuntut. Tak ada hakim yang berani menghakimi karena pasti akan ikut terhakimi. Tak ada pengadilan yang berani mengadili karena pasti ikut ter-adili.
Sehingga biarlah ia mengalir begitu saja lalu menggenang seperti cairan di tubuhnya kemudian diam, membisu dan berlalu.

Kini... Pak Harto telah tiada...
Mungkinkah, sebagaimana ketika masih hidup dan sakit-sakitan kepastian hukum atas dirinya yang mengalami fluktuatif, kini setelah kematiannya hukum atas dirinya juga dimatikan (alias ditiadakan alias dimaafkan?). Dan berlalulah status hukum Pak Harto.

Menurut saya tidak harus demikian. Bagaimanapun keadilan harus tetap ditegakkan. Pak Harto harus tetap diadili jika kita memang benar-benar menghargai jasa-jasanya semasa hidup. Karena tanpa mengadili kesalahan-kesalahannya terhadap seluruh rakyat Indonesia, justru akan menambah bebannya di alam kubur. Memaafkan Pak Harto begitu saja tanpa proses hukum yang adil berarti membiarkan Pak Harto tersiksa.

Tapi sebagai masyarakat kecil apa yang bisa saya lakukan?
Ini tanggung jawab pemerintah. Sebagai rakyat, kita sudah menyatakan sikap.

Ya, sudahlah!
Toh Hakim Pengadilan Sejati tak akan diam. Hakim Sejati Yang Maha Mengetahui, Maha Kaya dan Maha Adil lah yang akan memutuskan.

Hanya, seberapa beranikah dia atau kita menyongsong pengadilan Zat Yang Maha Tunggal?
Kata Imam Ali: “Demi Allah, saya lebih suka melewatkan malam tanpa kantuk dan terbaring di atas duri-duri sa’dan atau digiring dalam keadaan bagai narapidana yang terbelenggu ketimbang menghadap Allah dan Rasul kelak di Hari Pengadilan sebagai pelaku kejahatan terhadap seorang hamba Allah atau sebagai pengambil hak seseorang.”

Minggu, 20 Januari 2008

May I say : I want and I need a leader like you, Mr. Ahmadinejad, not the man beside you

Indonesia Prihatin

Artis Masuk Partai

BANYAK partai politik di Indonesia dibangun di atas fondasi yang rapuh. Partai lahir bukan dari aspirasi masyarakat, melainkan hanya demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Contoh partai politik yang seperti itu adalah partai yang didirikan setelah terjadi konflik internal. Terutama seusai kongres partai, karena gagal memenangi kursi ketua umum partai.
Bukti lain, tengoklah pola rekrutmen elite partai. Sangat buruk. Umumnya partai tidak memiliki perencanaan strategis untuk menghasilkan elite partai dari dalam. Partai memilih jalan pintas, menerima kutu loncat, orang-orang yang lompat pagar, orang-orang indekosan, yang pindah dari satu partai ke partai lain.
Partai juga senang dengan popularitas semu dengan menjadikan artis sebagai sumber rekrutmen. Padahal, harus jujur dikatakan, artis bukanlah sumber bibit pemimpin yang berbobot. Kehidupan glamor yang dipentaskan artis di panggung publik sesungguhnya penuh kosmetik.
Artis memang memiliki popularitas, karena itu di zaman Orde Baru artis dipakai sebagai penyerap suara belaka. Akan tetapi, pada era reformasi yang ditandai dengan demokrasi langsung ini, tiba-tiba partai politik memberi peran yang sangat hebat kepada artis untuk mengisi kursi lembaga negara.
Sejumlah artis menjadi anggota DPR. Namun, sejak dilantik 2004, hampir tidak terdengar kiprah mereka untuk konstituen. Berita yang mencuat malah seputar kehidupan artis, seperti kawin cerai atau putus sambung pacaran sesama artis di DPR. Mereka pun tenggelam dalam lumpur perilaku dewan yang hanya mencari fasilitas.
Kehadiran artis di partai politik serta-merta meminggirkan peran kader yang sudah lama dan setia antre untuk masuk menjadi anggota DPR. Pimpinan partai sepertinya tidak kapok dengan loyalitas semu yang diperlihatkan para artis.
Sebagai contoh, artis Marissa Haque yang maju dalam pilkada Banten sebagai calon wakil gubernur tanpa mendapat restu dari partai yang mengantarkannya sebagai anggota DPR, yaitu PDI Perjuangan. Setelah dipecat PDI Perjuangan, Marissa kini menumpang dalam perahu PPP.
Marissa yang kalah dalam pilkada mestinya semakin menyadarkan elite partai bahwa tidak ada korelasi antara popularitas artis dan pilihan politik rakyat. Bahkan, sah untuk dipertanyakan, tidakkah artis yang terjun ke panggung politik umumnya mau menjadikan partai sebagai panggung meraih kembali popularitasnya yang sudah memudar?
Masih ada contoh lain. Artis Rieke Dyah Pitaloka yang sudah sembilan tahun bergabung dengan PKB dan terakhir menjabat wakil sekjen kini hijrah ke PDIP, langsung mengetuai bidang pemberdayaan perempuan partai wong cilik itu. Rieke pindah partai karena ia tidak mau hanya sebagai pembawa acara di partai Gus Dur itu. Sebuah alasan yang terdengar mengandung substansi.
Rieke resmi mengantongi kartu anggota PDIP pada 10 Januari lalu bersama artis lain, semisal Rano Karno yang kini menjadi calon wakil bupati Tangerang.
Artis masuk partai masih akan terjadi. Kutu loncat pun masih akan mewarnai kehidupan partai. Sebab, memang belum tumbuh kesadaran bahwa partai modern hanya bisa dibangun di atas fondasi yang kukuh melalui penguatan kelembagaan partai. Termasuk di dalamnya mengembangkan mutu sumber daya manusia yang menjadi andalan partai. Artis masuk partai pasti bukan jawaban yang menjanjikan untuk itu. (Editorial Indonesia)

Minggu, 06 Januari 2008

Muharam Menjelang

Bukan lagi tetes demi tetes
Merah tumpah membara
tanah karbala menjerit ....

Perih mengiris-iris jiwa
berpacu bersaing dengan deru
membahana melaknat musuh

Bukan lagi tetes demi tetes
Bening bercampur keruh
karena debu ikut menghentak

raungan ...
tangisan ...
amarah ...
darah ....

Tuhan....
..................
Aku terdiam
tertunduk
lesu.......

Bagaimana kata mesti terucap!
Bagaimana salam mesti terlantun!
Bagaimana cinta mesti terwujud!

Duhai junjunganku
Betapa rindu kusebut namamu
Betapa malu kuhadapkan wajahku

Ya Husain.....
Terimalah aku tak hanya di gerbangmu
Rengkuhlah diri yang tak berharga
Meski sekedar sebagai debu

Ya Husain...
Ya Husain...
Ya Husain...

Maafkanlah aku
Telah kusia-siakan darahmu
Tangisku hanya di Muharam...
Memalukan!!!

Ya Husain...
Ya Husain...
Ya Husain...

Terimalah salamku
Terimalah jiwaku
Rengkuhlah aku

Ya Husain....
Ya Husain....
Ya Husain....

Maafkanlah diriku
Terimalah air mataku
remgkuhlah aku
tuk syahadah bersamamu
selamanya ....
selamanya ....
selamanya ....

Salam atasmu ya Husain....
Duka atasmu....
selamanya ....
selamanya...

selamanya....

selamanya....

Rabu, 02 Januari 2008

BENAK ATIKAH

Ada perasaan gelisah menggeluti hati Atikah. Amarah dan dendam dan entah apalagi namanya sangat menguasai hatinya. Tuhanm mengapa harus terjadi hal seperti ini. Atikah membatin. Bukan hanya tubuh, tapi harga diriku juga merasa tercabik-cabik. Seenaknya mereka mengoyak-ngoyak jiwa ragaku seperti singa lapar yang menemukan mangsanya. Air liur meleleh dari lidah mereka yang menjulur keluar. Matanya mendelik penuh nafsu kotor dan nafasnya, seperti nafas anjing yangkelaparan.

"Aaaa...!!!" Atikah menjerit. Berteriak dan berteriak mengingat-ingat peristiwa itu. Peristiwa yang menimpa dirinya beberapa bulan yang lalu. Perkosaan! Yah, dirinya telah diperkosa oleh sekelompok pemuda yang baru saja mengadakan pesta minuman keras. Peristiwa itu sungguh-sungguh menyakitkannya. Lebih-lebih hukuman yang mereka terima tidak setimpal dengan perbuatannya. Baginya hukuman itu pantas diberikan pada maling ayam. Dan sebentar lagi mereka akan bebas. Bebas!

Hati Atikah jelas menolak mentah-mentah kebebasan mereka. Kebebasan Sutandu, Bowo dan Rustam. Tampang-tampang kriminal yang menjijikkan itu masih melekat kuat dalam benaknya.

Ketika itu, di siang bolong yang sepi, Atikah disekap di buritan belakang rumahnya. Ditampar, ditendang dan disiksa. Atikah tak berdaya. Pingsan. Lalu terjadilah peristiwa yang menjijikkan dan mengerikan itu.

"Hakim itu seharusnya merasakan bagaimana rasanya diperkosa." Desis Atikah. "Keadilan harus ditegakkan. Dan belatih ini yang akan menegakkannya!"

Atikah meraih belati di atas meja. Belati itu sudah berkarat. Atikah tersenyum sinis memandangnya. Lalu Atikah beranjak dan mengasah belati itu. Dengan tekun dia mengasahnya hingga belati itu mengkilat. Sungguh mengkilat apalagi bila terkena sorot matahari. Atikah tersenyum giris. Diusap-usapkannya belati itu di pipinya yang merah. Matanya dingin menerawang. Satu persatu wajah ketiga pemuda muncul secara bergantian dalam bayangannya. Wajah-wajah binatang yang menjijikkan! Air mata Atikah mengalir membasahi belati yang menempel di pipinya.

"Kau menangis lagi, Tikah." Suara lembut itu mengagetkan Atikah. "Sekali pun telah kering air matamu, tak akan mampu mengembalikan keperawananmu." Lanjut suara itu yang ternyata bunda Atikah.

"Bagaimana dengan uang dan beras yang Bunda dapatkan dari orang-orang yang mengasihani Tikah. Apakah itu semua dapat mengembalikan kesucian Tikah?"

"Kesucian seorang gadis tidak terletak pada keutuhan selaput daranya, Tikah. Tetapi pada hatinya."

"Bunda. Bunda tidak tahu, betapa sakit hati Atikah. Bunda tidak tahu, karena Bunda tidak mengalaminya."

"Bunda paham. Sangat paham dengan hatimu, Nak. Tentu saja Bunda tidak rela ada binatang menginjak-injak harga diri anakku yang kukandung selama sembilan bulan sepuluh hari dan kulahirkan dengan taruhan nyawa. Bagaimana mungkin Bunda tidak tahu dengan sakit hati yang kau rasakan."

Atikah terdiam. Nafasnya tersengal. Dengan sagat hati-hati, belati dalam genggamannya itu diambil bunda dari tangannya. Untuk yang kesekian kalinya bunda berhasil merampas setiap benda-benda tajam yang pernah ada dalam genggamannya. Hati bunda begitu resah, khawatir dan takut kalau putrinya tercinta itu bunuh diri.

***
MALAM itu, tak ada bintang tak ada bulan. Yang ada hanyalah gumpalan-gumpalan mega hitam di langit yang menempatkan diri pada posisinya masing-masing. Gumpalan-gumpalan mega hitam itu seperti gumpalan-gumpalan luka di hati Atikah. Bedanya, mega hitam di langit akan merubah warnanya di siang hari, akan tetapi tidak demikian dengan luka hati Atikah. Bahkan luka itu tidak saja hitam. Ada yang semakin memerah panas membakar. Dan akhirnya berubah menjadi dendam yang tak terlukiskan.
Hari-hari dilewati Atikah dengan memandang langit yang hitam. Dia menunggu bulan muncul dari sarangnya. Seringkali Tikah menyaksikan bulan tidak sepenuhnya memancarkan cahayanya. Mega hitam itu selalu usil mengusik kemunculan sang bulan. Atikah jadi benci dengan mega malam.
"Bunda, coba katakan pada Tikah. Apa yang kira-kira akan dilakukan orang-orang yang memperkosa Tikah jika Tikah mati?"
Bunda menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini dia sering kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan Atikah yang mengerikan itu.
"Sebutlah nama Tuhan, Tikah. Mintalah pertolongan dariNya."
"Bunda tidak menjawab pertanyaan Tikah. Tapi, mungkin orang-orang itu akan senang jika Tikah mati karena tidak akan ada lagi yang mencoba menuntut mereka. Tapi tidak Bunda. Tidak!" Atikah mencengkeram lengan bundanya. "Mereka salah. Arwah Tikah akan gentayangan mengganggu mereka. Mereka pasti akan ketakutan melihat wajah Tikah yang menyeringai. mereka akan lari terbirit-birit, terperosok dan jatuh ke jurang."
"Masya Allah, eling (ingat) Tikah. Nyebut."
"Atikah kehilangan harapan, Bunda. Masa depan Tikah hancur. Hidup Tikah hancur. Kematian akan membuat Tikah lebih hidup dibandingkan jika Tikah tetap hidup. Setidaknya dalam kematian, Tikah masih punya harapan."
Lagi-lagi bunda menghela nafas panjang. Dan beliau hanya berucap, "Kamu sudah mengambil air wudhu, Tikah?" Atikah tercengang demi mendengar kata-kata bundanya. Dia palingkan muka pada bundanya. Sisa-sisa air mata Tikah menetes membasahi pipinya. Oh, wajah tua ini sungguh sabar dan bijaksana. Bunda, Tikah tidak tahu apa yang akan terjadi jika Bunda tidak ada di samping Tikah.
"Tanyakan pada Tuhanmu, apakah kamu sudah pantas untuk menerima kematian dariNya."
Atikah tak mampu lagi berkata-kata. Dia hanya merangkul erat-erat tubuh bundanya.
***
HARI berganti hari. Minggu pun telah berganti. Kebebasan Sutandu, Bowo dan Rustam sudah di ambang pintu. Dari mulut tetatangga Atikah mengetahui, kurang lima hari lagi mereka akan menghirup udara bebas. Dan hari itu sekarang bisa dihitung dengan menggunakan jari. Dada Atikah berdebar-debar menyimpan amarah.
Tiba-tiba ada sesuatu muncul dalam benak Atikah. Harapan! Harapan yang selama ini terkubur dalam-dalam muncul ke permukaan hati Atikah.
Diam-diam belati yang dulu pernah diasahnya itu diambilnya kembali. Kemudian diasahnya sampai mengkilat. Tak seorang pun mengetahuinya. Bahkan bundanya pun tidak tahu. Atikah terus mengasahnya dan mengasahnya.
"Tidak ada bukti kuat dari penuntut yang memberatkan terdakwa." Begitu kata Hakim dalam sidang beberapa bulan yang lalu. "Terdakwa hanya terbukti menenggak minuman keras hingga mabuk dan meresahkan masyarakat." Kata-kata sang hakim masih terngiang-ngiang di telinganya. Tuduhannya terhadap tiga terdakwa itu dianggap sebagai tuduhan palsu. Sama sekali keputusan yang sangat tidak adil.
"Dan sekarang, saya sendiri yang akan mengadili mereka!"
Atikah gelisah tak sabar menunggu sang waktu. Tinggal tiga hari lagi. Bentangan-bentangan waktu semakin tipis jaraknya. Tinggal dua hari. satu hari. Detik-detik jam hari itu telah berlalu. Dan, sekaranglah saatnya!
Ayam jago peliharaan Atikah mengebaskan sayapnya seolah memberi semangat baru kepadanya. Hati Atikah terbakar. Dadanya bergemuruh hebat. Seperti ada kekuatan aneh yang mendorong-dorongnya. Entah kekuatan apa yang tersembunyi dalam dirinya. Tiba-tiba Atikah berlari sekencang-kencangnya sambil mengayunkan belatinya. Tak seorang pun berani mencegahnya. Tak seorang pun berani mendekatinya. Semuanya hanya tertegun. Bahkan ketika ketiga wajah yang sangat dikenalnya itu persis berada di hadapannya, tercengang dan kaget memandang Atikah. Semuanya terjadi seolah-olah ditakdirkan demikian. Sebentar kemudian terdengar teriakan-teriakan histeris di depan penjara. Atikah begitu liar menyabetkan belatinya ke tubuh mereka sperti ketika mereka liar menelanjangi tubuh Atikah. Ketiga pemuda yang memperkosa Atikah itu terkapar berlumuran darah. Atikah puas, puas dan puas.
"MAta belati ini lebih tajam daripada mata sang hakim." Teriak Atikah seraya memandang lekat-lekat belatinya yang berlumuran darah.
"Bunda! Lihatlah, mereka tengah menyongsong persidangan di akherat. Tuhan akan mengadili mereka dengan seadil-adilnya. Tikah puas, Bunda. Puas!"
Bersamaan dengan teriakan-teriakannya, Atikah diseret oleh beberapa petugas ke penjara. Esoknya terdengar kabar bahwa dia dihukum mati.
"Kenapa kau lakukan ini, Tikah?"
"Atikah rela mati demi membela apa yang Tikah yakini, Bunda."
Doa dan tangis bundanya mengiringi kepergian Atikah.***

FRESH

aPa beda sItI dengan sOtO?

Klo Soto, mie-nya putih
Klo, Siti yang makan soto ...

Apa bahasa Inggrisnya laki-laki boneka pergi nyanyi?

Man doll goes song

Mengapa orang Cina berkulit putih, sedang orang Afrika berkulit hitam?

Sudah dari sononya

Orang apa yang sukanya tidur melulu?

orang kurang kerjaan