Minggu, 20 Januari 2008

Indonesia Prihatin

Artis Masuk Partai

BANYAK partai politik di Indonesia dibangun di atas fondasi yang rapuh. Partai lahir bukan dari aspirasi masyarakat, melainkan hanya demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Contoh partai politik yang seperti itu adalah partai yang didirikan setelah terjadi konflik internal. Terutama seusai kongres partai, karena gagal memenangi kursi ketua umum partai.
Bukti lain, tengoklah pola rekrutmen elite partai. Sangat buruk. Umumnya partai tidak memiliki perencanaan strategis untuk menghasilkan elite partai dari dalam. Partai memilih jalan pintas, menerima kutu loncat, orang-orang yang lompat pagar, orang-orang indekosan, yang pindah dari satu partai ke partai lain.
Partai juga senang dengan popularitas semu dengan menjadikan artis sebagai sumber rekrutmen. Padahal, harus jujur dikatakan, artis bukanlah sumber bibit pemimpin yang berbobot. Kehidupan glamor yang dipentaskan artis di panggung publik sesungguhnya penuh kosmetik.
Artis memang memiliki popularitas, karena itu di zaman Orde Baru artis dipakai sebagai penyerap suara belaka. Akan tetapi, pada era reformasi yang ditandai dengan demokrasi langsung ini, tiba-tiba partai politik memberi peran yang sangat hebat kepada artis untuk mengisi kursi lembaga negara.
Sejumlah artis menjadi anggota DPR. Namun, sejak dilantik 2004, hampir tidak terdengar kiprah mereka untuk konstituen. Berita yang mencuat malah seputar kehidupan artis, seperti kawin cerai atau putus sambung pacaran sesama artis di DPR. Mereka pun tenggelam dalam lumpur perilaku dewan yang hanya mencari fasilitas.
Kehadiran artis di partai politik serta-merta meminggirkan peran kader yang sudah lama dan setia antre untuk masuk menjadi anggota DPR. Pimpinan partai sepertinya tidak kapok dengan loyalitas semu yang diperlihatkan para artis.
Sebagai contoh, artis Marissa Haque yang maju dalam pilkada Banten sebagai calon wakil gubernur tanpa mendapat restu dari partai yang mengantarkannya sebagai anggota DPR, yaitu PDI Perjuangan. Setelah dipecat PDI Perjuangan, Marissa kini menumpang dalam perahu PPP.
Marissa yang kalah dalam pilkada mestinya semakin menyadarkan elite partai bahwa tidak ada korelasi antara popularitas artis dan pilihan politik rakyat. Bahkan, sah untuk dipertanyakan, tidakkah artis yang terjun ke panggung politik umumnya mau menjadikan partai sebagai panggung meraih kembali popularitasnya yang sudah memudar?
Masih ada contoh lain. Artis Rieke Dyah Pitaloka yang sudah sembilan tahun bergabung dengan PKB dan terakhir menjabat wakil sekjen kini hijrah ke PDIP, langsung mengetuai bidang pemberdayaan perempuan partai wong cilik itu. Rieke pindah partai karena ia tidak mau hanya sebagai pembawa acara di partai Gus Dur itu. Sebuah alasan yang terdengar mengandung substansi.
Rieke resmi mengantongi kartu anggota PDIP pada 10 Januari lalu bersama artis lain, semisal Rano Karno yang kini menjadi calon wakil bupati Tangerang.
Artis masuk partai masih akan terjadi. Kutu loncat pun masih akan mewarnai kehidupan partai. Sebab, memang belum tumbuh kesadaran bahwa partai modern hanya bisa dibangun di atas fondasi yang kukuh melalui penguatan kelembagaan partai. Termasuk di dalamnya mengembangkan mutu sumber daya manusia yang menjadi andalan partai. Artis masuk partai pasti bukan jawaban yang menjanjikan untuk itu. (Editorial Indonesia)

Tidak ada komentar: