Senin, 28 Januari 2008

Tentang Kasus Hukum Almarhum Soeharto

Hukum di negara ini tak punya ketegasan dan kepastian. Pro dan kontra mengenai dihentikannya tuntutan terhadap mantan bapak pembangunan hanya mencuat saat krisis melanda tubuh tuanya. Ketika krisis berlalu, pro kontra pun ikut berlalu. Mungkinkah memang sengaja dibuat begitu. Pasti. Karena ketegasan dan kepastian hukum atas dirinya akan membawa dampak buruk bagi mayoritas pengelola negara dan mantan pengelola negara. Tak ada jaksa penuntut yang berani menuntut karena akan ikut tertuntut. Tak ada hakim yang berani menghakimi karena pasti akan ikut terhakimi. Tak ada pengadilan yang berani mengadili karena pasti ikut ter-adili.
Sehingga biarlah ia mengalir begitu saja lalu menggenang seperti cairan di tubuhnya kemudian diam, membisu dan berlalu.

Kini... Pak Harto telah tiada...
Mungkinkah, sebagaimana ketika masih hidup dan sakit-sakitan kepastian hukum atas dirinya yang mengalami fluktuatif, kini setelah kematiannya hukum atas dirinya juga dimatikan (alias ditiadakan alias dimaafkan?). Dan berlalulah status hukum Pak Harto.

Menurut saya tidak harus demikian. Bagaimanapun keadilan harus tetap ditegakkan. Pak Harto harus tetap diadili jika kita memang benar-benar menghargai jasa-jasanya semasa hidup. Karena tanpa mengadili kesalahan-kesalahannya terhadap seluruh rakyat Indonesia, justru akan menambah bebannya di alam kubur. Memaafkan Pak Harto begitu saja tanpa proses hukum yang adil berarti membiarkan Pak Harto tersiksa.

Tapi sebagai masyarakat kecil apa yang bisa saya lakukan?
Ini tanggung jawab pemerintah. Sebagai rakyat, kita sudah menyatakan sikap.

Ya, sudahlah!
Toh Hakim Pengadilan Sejati tak akan diam. Hakim Sejati Yang Maha Mengetahui, Maha Kaya dan Maha Adil lah yang akan memutuskan.

Hanya, seberapa beranikah dia atau kita menyongsong pengadilan Zat Yang Maha Tunggal?
Kata Imam Ali: “Demi Allah, saya lebih suka melewatkan malam tanpa kantuk dan terbaring di atas duri-duri sa’dan atau digiring dalam keadaan bagai narapidana yang terbelenggu ketimbang menghadap Allah dan Rasul kelak di Hari Pengadilan sebagai pelaku kejahatan terhadap seorang hamba Allah atau sebagai pengambil hak seseorang.”

Tidak ada komentar: