Rabu, 12 Desember 2007

cerpenku di saat sepi

TERGODA KOTAK SETAN

Berjam-jam Astrid hanya memandangi setumpuk amplop berisi surat lamaran kerja. Sudah puluhan bahkan mungkin ratusan lamaran yang telah dikirimkannya ke berbagai perusahaan dan instansi demi mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan ijazah diploma 3-nya. Tapi tak satupun dari lamarannya tersebut mendapatkan jawaban yang menyenangkan. Kalaupun ada, itu pun sebagai sales yang harus rela berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Padahal Astrid yang tidak menyukai kerjaan semacam itu tidak pernah melamar sebagai sales. Ternyata terlalu banyak iklan yang berbohong. Menawarkan pekerjaan sebagai sekretaris, manager, atau pegawai administrasi lainnya, tapi untuk mencapai posisi tersebut harus mau menjadi sales dulu. Udah gitu, masih dimintai uang lagi. Alasannya sebagai biaya pengganti administrasi atau apalah namanya. Otomatis pekerjaan itu pun balik ditolaknya mentah-mentah. Orang mencari kerja supaya dapat uang, eh, kok malah dimintai uang. “Dasar!” Gerutunya.
Dan kini, masih tersisa setumpuk lagi. Tapi rasanya Astrid sudah ogah untuk meneruskan perjuangannya. Maka hanya dipandanginya setumpuk lamaran yang tersisa itu. Dan tak lama kemudian, dikemasnya dalam kardus kecil. Selanjutnya Astrid yang nyaris putus asa pun just say good bye to her beloved applicant dengan perasaan jengkel dan kesal.
Waktu terus berjalan. Tak terasa sudah lima bulan lebih Astrid menjadi pengangguran produktif kelas berat. “ Duuuuhhh! Bosan banget siiih.” Keluhnya. Hampir tiap hari, waktunya selalu habis dengan rutinitas yang klasik atau hal klasik yang rutin. Mungkin satu-satunya yang bisa menghibur rasa bosan dan sepinya hanya satu. Nonton gosip alias infotainment. Dan belakangan, dia jadi sangat keranjingan dengan acara yang satu itu. Tak pelak, sang ibu pun sering uring-uringan melihat tingkahnya. Tapi dasar Astrid. Uring-uringan sang ibu hanya sekedar masuk telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri.
“YA Allah, baru jam setengah tujuh pagi sudah nonton gosip. Bantu ibu di belakang dulu dong, Nak.”
“Iya bu, sebentar. Tinggal beberapa menit lagi. Beritanya seru nih.” Jawab Astrid dengan tatap mata yang tak mau pindah dari layar televisi.
Ibunya hanya menggelengkan kepala dan pergi meninggalkan dirinya untuk meneruskan pekerjaan rumah. Tiga puluh menit pun berlalu. Tapi Astrid tak beranjak pergi dari depan layar televisi malah tangannya gatal ingin memindahkan tombol TV ke chanel lain. Wouw! Berita pertengkaran rumah tangga si Maia dengan Dhani makin seru aja. Astrid pun semakin pasang mata dan telinga.
“Astriiiiid!!!” Teriak ibunya dari dapur
“Iya Bu!” Balas Astrid tak kalah kerasnya
“Beliin minyak dong, Sayang. Minyaknya habis tuh, ibu mau masak.”
“Iya, Bu, Tunggu sebentar ya. Ntar kalau iklan Astrid beliin.”
Maka saat iklan diputar, Astrid berlari kencang membeli minyak goreng di warung yang tak jauh dari rumah. “Duh! Antri lagi!” Astrid mulai tak sabar, karena pembelinya begitu banyak dan terpaksa harus ngantri.
“Mbak, bisa duluan nggak. Cuma beli minyak aja 1 botol. Please deh Mbak. Buru-buru nih.”
Beruntung si Mbak itu berbaik hati melihat wajah Astrid yang cemas seolah diburu sang waktu. Dalam pikiran si Mbak itu, Astrid pasti mempunyai urusan yang sangat penting, jadi tidak apa-apa kalau dia didahulukan. Lagi pula, pembeli yang lain nampaknya juga rela. Lalu begitu minyak ada dalam genggamannya, Astrid buru-buru mengambil langkah seribu untuk kembali pulang. Hasratnya terpacu ingin mengetahui perkembangan terakhir berita perceraian para selebritis. Hembusan nafas lega menghempas saat kakinya sudah menginjak lantai di depan televisi. “Hhhhh! Untung masih iklan. Jadi bisa mengikuti berita pertengkaran Maia dan Dhani.”
“Astriiid!! Mana minyaknya?”
“Iya, Bu. Ini ada.”
Dengan langkah kesal, ibu mengambil minyak dari tangan Astrid yang sudah lengket di atas kursi dengan mata yang konsentrasi pada berita gosip. Tak terasa, kembali tiga puluh menit berlalu tanpa arti. Bukannya beranjak membantu sang ibu, tapi lagi-lagi tangan Astrid gatal untuk memindahkan chanel. Lalu terdengarlah suara centil nan merdu seorang presenter gosip yang berapi-api memberitakan gaya hidup para selebritis tanah air. Astrid pun semakin tenggelam dalam lautan gaya hidup yang menghias layar kaya.
Matahari semakin merangkak naik. Sesekali terdengar teriakan sang ibu yang mengingatkan Astrid untuk beres-beres rumah, membersihkan kamar, dan seabrek kegiatan lain. Semua pekerjaan memang dijalankan tapi sambil nyambi sehingga selesainya pun sangat lambat. Ketika melipat selimut, harus di depan TV. Saat menyapu lantai, telinga konsen pada cuap-cuap si presenter. Saat menggerus bumbu masak, dibawanya blender dekat TV. Saat mengelap meja, kepala tak pernah absen menoleh ke televisi. Pokoknya, kegiatan apapun tidak pernah lepas dan tidak boleh ketinggalan dari televisi kecuali mandi dan sholat. Tapi, ketika sholat pun, kadang-kadang sambil ndengerin TV. Busyet dah. Kotak setan berwujud televisi itu telah benar-benar menjadi belahan jiwanya.
Pernah, suatu hari, saking jengkelnya dengan perilaku Astrid, ibu mematikan kotak setan itu ketika Astrid sedang sholat. Maka, gerakan sholatnya begitu cepat secepat kilat. Mata sang ibu pun membelalak menyaksikannya.
“Kamu ini! Sholat atau olah raga! Kok cepat banget!’
“Ah, ibu. Emang udah waktunya selesai kok.”
“Ya ampun Astrid… Bagaimana do’amu bisa terkabul kalau sholatmu seperti itu, Sayang ...”
“Ibu sih, pakai matiin TV segala.”
“Astagfirullahal adziim, Astrid! Kamu itu sedang menghadap Allah, bukan televisi.”
“Ibu… nyindir melulu sih.”
“Bukan nyindir, Sayang. Tapi beneran.”
“Iya deh, iya. Astrid ngerti. Ngerti!”
Dengan wajah yang bersungut, ditinggalkannya sang ibu yang masih keheranan dengan perilakunya. Dihempaskannya tubuhnya di atas singgahsana kesayangannya. Kedongkolan di hatinya segera sirna begitu layar kotak setan menyala. Hati dan jiwanya pun segera menyatu dengan para pecinta gosip selebriti. Sang ibu seolah kehabisan kata untuk menasehatinya dan hanya mampu mengelus dada sambil hatinya terus berdoa untuk putri tercintanya.
“Astrid, apa kamu nggak bosan setiap hari melihat dan mendengarkan gosip yang isinya pertengkaran, kawin cerai, hura-hura, perselingkuhan, pacaran, …..”
“Sssst. Dengerin ini dulu dong, Bu.” Potong Astrid.
“Dasar, anak bandel. Daripada kamu melihat acara yang nggak bertanggung jawab semacam itu, kan lebih baik nulis surat lamaran, baca buku atau kegiatan yang bermanfaat lainnya. Apa sih pengaruhnya infotainment. Memberi keuntungan apa para selebritis itu pada hidup kamu. Coba kamu baca buku. Lebih banyak manfaatnya, banyak untungnya, ilmu juga nambah, wawasan jadi luas…..”
“Addduhh, Ibu! Iya… iya… Astrid lagi lihat berita nih. Kalau ibu ngomong terus, jadi gak bisa denger dong…”
“HHH! Dasar!”
Astrid hanya melengos saat telapak tangan ibunya menjitak geregetan kepalanya.
Dari waktu ke waktu, hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan bulan ke bulan, jaring-jaring televisi semakin merenggut dendrit-dendrit otaknya. Serasa hati semakin tak terpisahkan hingga jiwanya merasa jenuh dan tanpa disadarinya kelelahan melemahkan fisiknya. Beruntung, ada kesadaran yang muncul dalam hatinya hingga tak terasa matanya mengalirkan buliran-buliran bening yang membasahi pipinya.
“YA Tuhan, mengapa aku jadi manusia bodoh seperti ini.” Sesalnya sambil terisak pelan. Disembunyikannya wajahnya saat ibu melewatinya. Matanya pun lelah karena tangis.
Pada saat kesedihan melanda, tiba-tiba datanglah beberapa orang tamu dengan membawa mobil mewah. Samar-samar didengarnya ibunya tengah berbincang dengan mereka. Dari balik dinding, Astrid menangkap wajah sang ibu yang berbinar bahagia. Astrid mengernyitkan dahinya. “Memangnya ada berita apa, sampai ibu terlihat gembira seperti itu?”
Astrid tersentak saat ibunya berteriak-teriak senang memanggilnya.
“Ada apa sih, Bu?”
“Astrid, coba lihat! Siapa ini yang datang.”
“Hah?!” Astrid terkejut. Matanya terbelalak tak percaya. Saking tak percayanya, dikucek-kuceknya kedua mata indahnya. Bahkan nafasnya pun seolah terhenti melihat sosok yang ada di hadapannya.
“Dhani?! Ahmad Dhani! Benarkah?”
“Selamat ya Astrid. Kamu terpilih menjadi pemenang dalam audisi DEWI-DEWI.” Kata Ahmad Dhani sambil tersenyum melihat wajah Astrid yang masih tercengang tak percaya.
Astrid tak mampu berkata-kata. Jantungnya berdebar keras, darahnya berdesir lebih cepat, dan tenggorokannya tercekat saking gembiranya, terlebih yang mengucapkan selamat adalah Ahmad Dhani sendiri. Belum juga rasa terkejutnya reda, kembali dirinya dikagetkan sesuatu hingga nafasnya nyaris habis. Suasana bahagia yang sangat di luar dugaan itu rupanya harus terusik oleh kehadiran seseorang yang membawa kemarahan luar biasa. Seorang wanita berparas cantik yang tak asing lagi dalam keseharian Astrid. Maia! Wouw! Dia marah besar karena mengira Astrid sebagai istri simpanan Dhani. Tanpa pikir panjang, Maia menyerang Astrid habis-habisan. Kontan wartawan pun berhamburan meliput aksi Maia yang kelewat batas itu.
“Ampun! Ampun! Kamu salah sangka!” Teriak Astrid kesakitan sambil menangkis-nangkis pukulan Maia yang mendarat ke arahnya. “Ampun! Aduh! Aduuuuh! Aduuuuuh! Ibuuu! Tolong Astrid Bu!!!”
“Astrid! Astrid!” Ibunya kebingungan. Dipegangnya kedua pipi Astrid dan digoyang-goyangkannya. Dia sibuk menolong Astrid yang nyaris tak berdaya. Tiba-tiba Astrid berhasil melepaskan diri dari cengkraman Maia. Dia pun melonjak dari kursinya.
“Astagfirullahal adziim… Ya Allah…. Ya Allah…” Nafas Astrid tersengal-sengal. “Astrid mimpi…”
“Ini nih akibatnya kalau keseringan nonton gosip. Mimpi jadi nggak karu-karuan.” Kata ibu sambil mengelus dada karena kaget.
Dan Astrid pun kembali menghempaskan tubuhnya dengan nafas yang masih tersengal.

***

Malang, 16 Mei 2007

Tidak ada komentar: